Kehidupan dalam Public Transport

Jakarta, ibukota negara yang terdiri dari tujuh huruf saja. Tapi pada kenyataannya tidak sederhana itu. Menurut gw, Jakarta itu :

ruwet, macet, padat, polusi, mahal, kumuh, mewah, butek, modern, de el el, de el el.

Menurut gw Jakarta tidak cukup dideskripsikan oleh orang-orang yang cuma numpang tinggal selama dua bulan seperti gw. Belum cukup untuk mengenal Jakarta, tapi dua minggu awal gw sedikit-sedikit bisa berhipotesis.

Jakarta, enak bagi yang berduit. Enak bagi yang berkuasa. Jahat bagi yang miskin, kejam bagi yang terpinggirkan. Seperti halnya kota-kota besar lainnya, untuk jalan-jalan di Jakarta, sungguh nyaman bepergian menggunakan kendaraan pribadi. Tapi bagi sisanya, silahkan memilih. Banyak alternatif kendaraan umum di kota yang memiliki sekitar 8.525.062 jiwa. Karena gw baru ngerasain tiga diantaranya, yakni Kopaja, Angkot, dan Busway, maka baru tiga ini yang bisa gw ceritain.

METRO MINI


Satu kata untuk Kopaja : BISING! Minibus, yang lebih mirip rongsokan berjalan ketimbang disebut kendaraan. Sangat cocok bagi yang terburu-buru, karena biasanya supir dan kenek bus sangat menghargai waktu kita. Saking menghargainya, baru sebelah kaki melangkah ke dalam Kopaja, maka segera siapkan diri karena supir ga bakalan nunggu kita duduk nyaman dulu, semuanya serba cepat. Maka pilihan termudah, yaitu duduk di tempat terdekat, dan kalo lagi apes - ya berdiri.

Kecepatan bus bisa dibilang diatas rata-rata. Bisa jadi karena supirnya kerasukan, atau faktor lain yang kemudian menyebabkan tempramen penumpang ikut naik : mudah marah kalau Kopaja-nya telat berhenti. Suara mesin Kopaja sekonyong-konyong terdengar seperti lokomotif, walau larinya cuma njot-njotan. Jangan berharap kenyamanan di Kopaja, karena kursi yang kita duduki berbahan plastik keras, besi di pinggirnya sudah karatan, dan tidak jarang jendela Kopaja dibiarkan ompong tanpa jendela.

Tapi, satu kelebihan Kopaja, yaitu MURAH! Cuma dua ribu perak untuk jarak yang sama dengan argo taksi yang menunjukkan bilangan Rp 25.000,-


Angkot


Hampir ada di setiap kota di Indonesia. Namun masing-masing kota memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya di Bandung, penumpang di samping supir berjumlah dua orang (dua orang yang tidak saling mengenal, yang disatukan oleh takdir mereka ga kebagian kursi di belakang). Nah, angkot di Jakarta, bahkan lebih parah. Penumpang yang kehabisan tempat boleh berdiri di pintu angkot, bergelantungan seperti kenek. Muatan angkot dipaksa hingga berjumlah lima belas orang (padahal normalnya sekitar sepuluh atau sembilan).

Gw belum tahu kelebihan angkot, kecuali kenyataan bahwa kita ga punya pilihan lain.


Busway


Mungkin inilah salah satu kendaraan andalan warga Jakarta. Berkapasitas delapan puluh lima orang (bayangkan!), Busway setidaknya masih lebih baik daripada Kopaja dan Angkot. Harga tiketnya pun murah, cuma tiga ribu lima ratus perak, dan dengan catatan selama kita berganti rute dengan tidak keluar dari halte Busway, kita tidak perlu membeli tiket lagi.

Tapi dua kali gw ga kebagian tempat duduk. Oke, ga begitu penting sih, gw cuma mau menceritakan para penumpang Busway. Di dalam Busway, terdapat wajah Indonesia. Latar dan karakter penumpang berbagai rupa. Dari yang kulitnya paling putih, sampe yang paling dekil. Dari yang alisnya nyambung, sampe yang ga punya alis sama sekali (suer! alisnya ga ada karena dicukur maksudnya). Dari karyawan/karyawati yang berseragam setelan, bersandal jepit, bermasker, tidur karena kelelahan - hingga ibu ibu yang sibuk ngurusin bayinya yang melihat pun belum, bayi yang masih merah, atau ibu yang anak-anaknya pada tepar di dalam busway, ngambil jatah kursi orang lain serasa rumah pribadi. Dari remaja alay hingga nenek-nenek gaul. Semua ada di dalam busway.

Gw salut sama warga Jakarta. Bahkan gw bisa berasumsi, mereka yang bisa masuk dalam kehidupan merakyat ala Jakarta, udah pasti bisa hidup di kota segede New York, London, atau Munich.

Hidup doang, bukan jadi kaya atau makmur.

Maka Jakarta tetaplah Jakarta. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.