Deklarasi Perang Kepada Lembab

Suatu sore saya pulang dengan bahagia, sejak dua bulan di kampung orang. Ingatan tentang kuliner Makassar yang menggiurkan berkelebat, menarik langkah untuk segera sampai di rumah.

Semua baik-baik saja, setelah berusaha melupakan seminggu beberapa hari sebelumnya ponsel saya dicuri orang, secara sangat rapi dan terencana. Apalagi dua hari setelahnya, menjelang tes IELTS di Surabaya yang menurut ingatanku - agak kacau balau.

Maka naiklah saya ke kamar, ruangan sederhana di lantai tiga. Rindu pada angin yang menerjang jendela, rindu pada ranjangku yang luas, dan pada buku-buku yang,...

Oh, tidak...




Dan itulah pertama kalinya saya benar-benar marah pada hujan.

Genap & Ganjil





















Sudah berapa lama?
Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Tujuh tahun?
Hingga kalimat-kalimat yang pernah tertulis kini asing bagi mataku.

Seringkali aku bingung,
Badan ini seperti punya sistem otomatis
Yang hanya mau patuh pada jam-jam tertentu
Yakni pukul genap dan pukul ganjil.

Masih mengetik, tanganku berusaha menyusun naskah yang mengendap dalam kepala
Hingga bulan bergulir, menggelindingi malam

Jam berapa sekarang?
Ah, masih 11.24 
Masih ada enam menit lagi sebelum setengah duabelas.
Ok, nanti waktunya genap lantas kita gosok gigi.
Atau sekalian 11.45 saja?
Kurang limabelas menit, cukup kok untuk cuci muka dan sholat isya...

Lain-lain waktu seperti ini :

Makan! Sudah siang begini!
Iya, sedikit lagi... *melirik jam
Ah, masih jam 12.17 - masih ada duabelas menit lagi.
Ah, masih jam 13.52 - masih ada satu jam delapan menit menuju pukul 3 sore.
Ah, masih jam empat, nanti sekalian jam lima baru istirahat.

Hingga aku mulai ketakutan dengan kebiasaan yang absurd ini. Takut bahwa sebenarnya aku sedang melalaikan waktu, hingga kadang kesadaran bahwa bilamana nanti di kubur aku disiksa malaikat, lalu ia pun menunggu sebelum berhenti.

Ah, masih tujuh menit lagi... Kurang tiga menit, supaya pas waktunya.

Walau angka-angka yang genap dan ganjil itu sesungguhnya sangat menyenangkan hatiku.


Surga Untuk Para Pemburu Ilmu


Aku menikmati imajinasi ketika bebas bertindak sebagai seorang murid
Di sebuah kota, tak peduli ia besar atau kecil
Majelis ilmu yang selalu nyaman dan menyenangkan
Dengan semburat matahari menerobos sela-sela jendela perpustakaan

Orang banyak bersepeda atau berjalan kaki saja
Mereka antusias dengan berbagai ilmu dan bahasa
Kitab, buku, peta, serta manuskrip adalah candu
Cerita tentang mitos atau legenda luar angkasa adalah hidangan pencuci mulut

Betapa bahagianya,
Membaca di atas hamparan rumput menghadap gunung!
Alunan zikir mengantar istirahat yang teduh di bawah pepohonan rimbun
Dan setiap kali kau jumpai kesederhanaan para penduduk
Dengan rendah hati kepala mereka segera mengangguk



Lantas Tuhan, dimana lagi bisa aku temukan rumah ini selain di surgaMu?



We Will Not Go Down

Tempat ter-aman bukanlah bangunan yang tahan 1001 bencana alam : tahan gempa, tahan tsunami, tahan longsor, bahkan bom pun tak bisa meluluhlantakkannya. Bukan. Bukan itu.

Tempat paling aman bukanlah area yang dikelilingi benteng setebal lima meter dan setinggi tujuh belas meter : tak akan hancur oleh catapult, tak mempan oleh canon, takkan bocor oleh bazooka yang ditembakkan 100 kali berturut-turut. Bukan. Bukan itu.

Tempat yang sangat aman bahkan bukanlah wilayah yang memiliki perisai gaib ala sihir maupun perisai dari teknologi paling mutakhir yang mendeteksi berbagai ancaman. Bukan. Bukan itu.

Tempat yang aman, adalah lingkungan yang dikelilingi oleh para pemberani. Para ksatria yang hatinya tak pernah lepas dari Allah. Mereka yang merindukan syahid untuk bisa segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Wafat karena membela harga diri, keluarga, agama, dan bangsanya. Jiwa mereka itu lah yang menjadi meriam yang menakutkan bagi musuh-musuhnya, musuh-musuh Allah.

Dan tempat itu ada di Bumi Syam.

Ramadhan Tahun Ini

Hari ke hari bertambah serius, tahun ke tahun bertambah berat
Ini bulan ramadhan, tapi setiap waktu sholat, sahur, buka puasa, tarwih,...

rasanya memang banyak yang hilang.
Saya rindu suasana hangat itu, jauh sekali sebelum merasa setua ini.

Para bedug, kemana kah mereka?
Dahulu, setiap mesjid di daerahku nampak wajib memiliki bedug.
Bunyinya yang memekakkan, namun menyemarakkan,
Seringkali kami bocah-bocah, mencuri kesempatan untuk menggebuk si bedug.

Lampu warna-warni, kemana kah mereka?
Dahulu, mungkin saat tarif listrik tak semahal sekarang
Melintang di ujung langit-langit mesjid, cahaya lampu warna-warni berpendar
Bohlam yang botak itu terdiri dari kaca merah, kuning, hijau, dan biru.

Wajah riang anak-anak yang bermain petak umpet
Memancing omelan nenek-nenek yang hendak khusyuk sembahyang
Kami membeli kembang api, petasan, dan lebih banyak jajan daripada malam biasa
Bercerita dengan sombong, siapa yang puasa siapa yang tidak

Tidak, sekarang jalanan lebih sunyi.
Anak-anak itu lebih banyak diam, mereka sibuk bermain dengan "kotak menyala"
Bedug mungkin tidak banyak diproduksi lagi
Juga lampu warna-warni yang kelihatan norak dan murahan

Tapi sebagai gantinya,
Suasana yang saya rindukan mungkin takkan kembali lagi
Tak akan ada yang spesial, membuat ramadhan tahun ini boleh berbeda
Walau sering berharap, saat belanja di toko, mungkin kasir akan semangat berucap,
"Selamat berpuasa!" atau "Selamat berbuka puasa!" lebih dari mereka menanyakan kartu-kartu atau pulsa yang tak ingin saya beli.

Ya sudahlah... Selamat berpuasa...

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.