Hati-hati Takabur

Hati-hati kalau ngomong. Apalagi jika tidak mau repot-repot berpikir dulu apa yang kita omongkan itu memang patut diobrolkan apa tidak. Yang lebih kacau lagi kalau kita berpikir bahwa topik yang kita bicarakan masih “wajar-wajar” saja.
Bisa-bisa anda seperti saya hari ini :

20 Februari 2010

Hari sebelumnya
            Saya pergi ke rumah dosen saya. Untuk urusan biasa. Pada saat itu, habis jumatan, setelah memastikan pekerjaan saya, beliau dan istrinya (juga dosen saya) keluar rumah. Saya ditinggal bersama pegawainya-pegawainya yang lain, yang notebenenya senior saya juga. Bekerja di depan komputer untuk waktu yang lama tentu melelahkan, makanya, setelah membeli beberapa jajanan, saya kembali bekerja sambil mulai ngobrol dengan senior saya itu.
            Banyak yang kami obrolkan, dan yang paling berhubungan dengan tulisan ini adalah saat kami mengobrol tentang mimpi. Kami menceritakan mimpi kami masing-masing tentang sesuatu yang bersifat rohanial. Saya bilang ke senior saya itu, saya sudah sering mimpi tentang surga, bahkan kiamat—sama seperti yang saya katakan kepada beberapa orang yang saya kira bisa diceritakan. Walaupun pada saat bermimpi, beberapa mimpi itu terasa sangat mengerikan, tapi toh saat ini saya juga sudah lupa bagaimana rasanya. Dan KESALAHAN YANG PALING FATAL adalah saat saya berkata DENGAN ENTENGNYA,
Saya malah pengen diliatin NERAKA loh! Ya,.. tapi dalam mimpi aja.
***

Subuh ini saya bisa bangun subuh. Ya, tidak seperti biasanya, memang tadi malam saya sengaja cepat-cepat tidur supaya bisa bangun pagi—sudah saya niatkan. Yah, walaupun saya pikir sama saja, mata saya memang terbiasa tidak tidur sebelum jam 1 pagi. Dan alhamdulillah saya bisa, walaupun cara bangunnya rada-rada ga enak sih.
Kenapa saya bisa bangun pagi??? Ternyata karena mimpi saya lumayan buruk.
Ada beberapa bagian dari mimpi itu, tapi bagian yang paling terakhir yang membuat saya agak “mikir” setelah akhirnya terselamatkan oleh Allah melalui alarm hape.
Dalam mimpi saya itu, saya berada di rumah yang terletak hampir persis di depan rumah yang saya tempati sekarang. Bedanya : rumah dalam mimpi saya berjumlah tiga lantai, ada keluarga saya kecuali orang tua—yang digantikan oleh orang tua saya disini. Dan kompleks perumahan yang sebenarnya tidak terlalu besar, di dalam mimpi saya jadi agak “padat” tapi sepi.
Sekitar empat rumah dari rumah yang saya tempati itu, “seingat saya dalam mimpi” pernah tinggal seorang teman saya, ibunya yang jahat--tewas karena diracuni, yang belum tahu siapa pelakunya, tapi teman saya sudah “kabur” duluan. Jadi “seingat saya dalam mimpi”, rumah itu agak angker dan selalu saya perhatikan jika saya lewat (sebenarnya mungkin tidak ada hubungannya dengan cerita kelanjutannya—ini cuma selingan aja XD )
Nah, ceritanya, ada beberapa tamu yang datang dan menginap di rumah kami. Tapi saya tidak terlalu suka dengan tamu-tamu itu karena mereka agak cerewet, dan klimaksnya terjadi saat mereka memutuskan pergi. Sebenarnya tidak ada masalah mereka pergi, tapi sebelum mereka pergi, mereka mengobrol di depan kamar saya tepat pada saat saya dan kakak saya keluar dari kamar.
Mereka bilang mereka tidak betah karena di rumah “ini” banyak setannya. Saat beberapa saat tamu-tamu itu menginap itu, mereka sering menampakkan diri. Kontan saya dan kakak saya yang paling tua bergidik. Alhamdulillah, seumur-umur kami tidak pernah mengalami kejadian serupa, apalagi (ini nyata) saya sering ditinggal sendiri ntah orang tua saya keluar kota atau kemana.
Saya berdua mengkonfirmasikan hal itu kepada “ayah” saya. Dan beliau hanya tenang berkata, “Itu cuma jin yang iseng, jangan terkonfrontasi.. jangan takut, asal kita sering beribadah..”.
Tapi saya dan kakak saya berdiri di teras –karena takut- dan terus membicarakan hal itu. Lalu Kakak saya yang kedua baru turun dari atas dengan penampilan baru bangun tidur. Kelihatan jelas—apalagi beliau sipit, hehehe.. dan ikutan nimbrung karena ingin tahu kenapa rumah tiba-tiba heboh.
Sekedar catatan, kakak saya yang kedua ini mentalnya agak “sensitif”. Sebelumnya kami agak sungkan menceritakan tentang obrolan tadi pagi, tapi dia mendesak ingin tahu.
Setelah kakak saya ngomong, nadanya ragu, eh… kakak saya yang kedua langsung lemas dan mulai kejang-kejang. Wah.. kami panik. Dan spontan saya langsung menahan kakak saya yang kedua itu. Dia mulai memberontak. Hal yang paling kami takutkan adalah—beliau kerasukan.
Kakek dan nenek saya, serta keluarga yang lain juga turun dari lantai atas. Kakek saya langsung mengurus kakak saya itu. Tidak ada yang aneh hingga ingatan terakhir adalah saat kakak saya yang pertama ngomong sambil panik dan memastikan ke arah saya,
Ran,.. jangan juga! Keep stay!!! Ran.. jangan, Ran..”
Saya hanya memandang kakak saya dengan ekspresi bingung tapi tidak yakin karena seketika itu tubuh saya tiba-tiba menggigil dan pandangan saya mulai kabur. Saya mencoba meraih kakak saya, tapi yang terjadi adalah
sesuatu sedang merasuki dan mengendalikan saya (padahal alhamdulillah seumur hidup—dan  mudah mudahan jangan sih saya kena gitu-gituan..)
Saat saya mulai ambruk ke bawah, penglihatan saya semakin hilang dan rasanya seperti tercekik. Kesadaran saya hampir sepenuhnya hilang saat alarm hape saya berbunyi (alarm kedua. Alarm pertama saya berupa jam weker yang ributnya minta ampun ternyata tidak mempan membuat saya bangun, jadi ini bisa dibilang alarm episode kedua).
           
Saya terbangun dengan posisi menghadap keatas.
Sampai setelah saya sholat subuh (yang jika saya bangun siangan tentu saja tidak saya lakukan) baru saya bisa merasa tenang dan berpikir bahwa itu cuma mimpi. Berpikir bahwa
            Ya!!! Sebenarnya mimpi ini tidak usah kaget kalau terjadi pada saya. Karena saya selalu berdoa pada Tuhan : “Ya Allah.. tegur aku atas kebiasaanku bangun telat.” Ditambah beberapa faktor pendukung seperti; kemarin itu, pas ngobrol saya sudah melakukan beberapa kesalahan :
Takabur + gara2 ngobrol dan lupa bawa mukena saya jadi absen sholat dhuhur dan ashar! + beberapa hari belakangan saya sudah jarang mengaji karena alasan sibuk (tidak akan bisa dibenarkan) + banyak hal lainnya.

Dan menurut saya—Allah memang menegur. Ia membangunkan saya melalui kombinasi dan alarm penyelamat. Dan saya tidak akan mengeluh akan itu. Hanya saja, mudah-mudahan tidak ada lagi orang yang melakukan atau mengalami hal itu. Belajarlah dari pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain.

Kita manusia sering berbangga diri, lupa bahwa kita “bukan” siapa-siapa.


PS : Kok tiba-tiba ingat lumpia rebusnya Hanamasa??? Astaga.. lapar lapar lapaaarrrr….

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.