Bersepeda Ria ke Tamansari PART I

Sudah hampir dua bulan yang lalu, ketika saya berhasil melakukan hal yang dicita-citakan sejak lama : NAIK SEPEDA DI JOGYA! yay!!!

ranselnya dong.. promosi abis :P
Pada hari itu, ketika urusan bersama Lontara Project selesai, Fitt dan Andrew sudah mau balik ke Jakarta, sepulang dari stasiun saya langsung mengambil ancang-ancang semangat 45. Dengan kaos dan jeans, setelah minta izin dari Tante Wati, saya mengendurkan persendian dengan bersepeda keliling Jetis (maklum, lama ga olahraga, jadi butuh pelemasan otot). Udah lebih familiar menggenjot betis, akhirnya misi pun dimulai ke Tamansari! Saya yang dari hari sebelumnya penasaran, jadi ga sabaran segera tiba disana.

Jarak antara Tugu dan Tamansari sekitar 3km (menurut daya hitung saya yang pas-pasan). Kalo di Makassar, bisa lah diumpamakan dari SMP 30 BTP hingga ke danau Unhas. Lumayan kan? Apalagi cuaca sedang cerah-cerah terik. Lewat jalur tukang becak di Malioboro, memutari alun-alun, sampailah saya ke tempat yang dituju.

Setibanya disana, saya langsung dijemput oleh seorang laki-laki paruh baya, bertopi, dan berkulit gelap - kemungkinan akibat diterpa oleh panas matahari setiap hari. Ia adalah guide saya (tanpa diminta). Ya sudahlah, daripada gentayangan sendiri, lebih enak ada yang nemenin, plus ngasih informasi.

Satu hal yang saya tangkap dari bapak ini adalah : seperti sebuah rekaman, beliau menjelaskan sejarah Tamansari begitu lancarnya tanpa tanda baca yang berarti. Saya sampai harus memasang pendengaran saya baik-baik, saking cepatnya cerita yang meluncur dari bibirnya, takut ada yang kelewatan. Hampir semua tourguide yang saya lalui seperti itu. Tapi saya yakin, usaha saya ga maksimal karena sambil memperhatikan, saya juga sibuk mengambil beberapa gambar.
Dibuang Sayang:

Kayaknya ga perlu dijelasin lagi, selain kemampuan mengingat saya terbatas, kayaknya lima jam ngebahas kenapa orang masuk lewat gerbang belakang Tamansari ga bakalan cukup. Ketika masuk, kita disambut kolam besar yang lengkap dengan spa & sauna para raja ratu serta anak-anak mereka di jamannya. Yang saya bayangkan, mungkin agak-agak mirip fasilitas waterpark di resort mewah yang hanya bisa dinikmati kalangan tertentu. Mandi-mandi, guyur-guyur, maen aer.. Uenakk tenannnnn...

Kolam Permandian Putri & Pangeran kala itu:


Sebenarnya sangat miris kalo membandingkan sejarah peninggalan budaya di Indonesia dengan kondisinya sekarang. Anak-anak muda (atau yang pernah muda) seringkali mengabadikan kisah cinta mereka dengan mengukir jalinan hati di tembok/dinding bangunan. Dikiranya keren, apa.. Norak, cuy! Norak!!! Sampe ada sepasang bule tua yang nongkrong disitu, mereka ngangguk-ngangguk geleng-geleng liat tembok penuh curahan hati para ababil.

Together Forever:



Lucunya, di tengah Istana Tamansari ini, terdapat perkampungan liar yang dibangun secara ilegal oleh penduduk setempat. Namun karena tiadanya keseriusan untuk menertibkan (selain fakta bahwa rumah-rumah tersebut sudah ditempati sejak turun temurun) sehingga seringkali saya bingung, sebenarnya seberapa besar luas Tamansari ini. Untung saja beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ mulai kreatif berjualan kerajinan-kerajinan tradisional, seperti wayang maupun lukisan timbul.

Topeng Kayu:


Wayang Kulit:


Konon istana Tamansari sudah melalui beberapa tahap perubahan yang diakibatkan proses akulturasi budaya Hindu dengan Islam. Dibuktikan dengan dibuatnya bangunan ibadah dengan tempat bersuci/berwudhu serta menghadap ke arah kiblat. Sayangnya, di sebuah sumur tua yang terdapat di tengah bangunan tersebut, tampaklah sampah-sampah yang dibuang oleh pengunjung. Padahal banyak sekali wisatawan mancanegara yang datang berkunjung kesana.

Tempat Sembahyang:


Ada sesuatu yang menarik ketika guide saya menjelaskan peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di Tamansari maupun Jogyakarta. Ketika saya bertanya, "Kenapa Bapak mau menjadi guide? Menjelaskan perkara sejarah sambil berkeliling situs, berpanas-panasan hingga kaki pegal, tentunya tidak sebanding dengan apa yang Bapak peroleh."

Beliau hanya menjawab, "Karena saya senang dengan pekerjaan ini, Mbak. Apalagi jika bertemu dengan pengunjung yang aktif bertanya, saya tambah semangat. Lebih merasa dihargai. Sejarah itu penting,.. dan kalau bukan kita yang menjaganya, siapa lagi? Kalau masalah rezeki, saya yakin, itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa."

Saya tersenyum saja. Sungguh salut dengan orang-orang yang mengabdikan dirinya seperti bapak ini. Ia bahkan menguasai tiga bahasa asing - semuanya dipelajari secara otodidak karena sedari kecil berinteraksi dengan pengunjung yang mayoritas berasal dari Eropa. Dan yang terpenting adalah : sikap rendah hatinya. Saya tak sungkan membayar banyak untuk bapak ini, tapi hari itu dana saya terbatas. Walaupun merasa tidak cukup, tapi mudah-mudahan bapak itu ikhlas menerimanya.


to be continued...

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.