Bersepeda Ria ke Tamansari Part II

Adzan Dhuhur sebentar lagi berkumandang dari mesjid yang berdiri selemparan batu dari Istana Tamansari. Saya memutar sepeda masuk ke area mesjid, masih kosong. Jadi masih ada waktu untuk berbaring sejenak, berpikir, melepas rasa lelah.

Kalau dipikir-pikir, jauh juga. Tapi ada sebuah perasaan - ketika kita menjadi orang asing di sebuah tempat yang baru dikunjungi, akan terasa lebih menyenangkan. Apalagi jika bepergian sendirian. Tanpa perduli pendapat orang, yang kita lakukan hanyalah berjalan maju dan tersenyum. Tuhan begitu baik menciptakan beberapa macam kehidupan diluar nalar manusia. Dan dalam keterasingan itu saya tidak merasa sendiri. Melainkan hanya berdua, dengan Tuhan, yang kita sedang menelusuri jejaknya melalui perenungan setelah menyaksikan dunia dan isinya.

mesjidnya adeeeeeem euy!
Setelah membersihkan diri, saya masuk ke dalam mesjid yang di tengahnya terdapat sebuah tiang utama dengan dekorasi yang amat menarik. Hanya ada seorang perempuan tua yang menunaikan ibadah sunnah. Saya duduk, mulai meresapi adzan yang mengalun sayup-sayup. Orang-orang mulai berdatangan, kebanyakan sudah sepuh. Hanya saya dan seorang pasangan yang sempat berpapasan di Tamansari tadi yang masih terlihat muda. Saya berpikir, bukankah rumah Tuhan begitu damai? Kenapa hanya orang tua yang duduk dan beribadah disini? Kemana cucu-cucu mereka?

***

Sehabis menunaikan sholat, saya merasa energi yang tadi kuras perlahan-lahan kembali. Silaturahmi tanpa dialog kami lakukan, walau hanya seuntai senyuman. Cuman saja, kini perut mulai terasa keroncongan. Rencana saya adalah singgah di Maliboro untuk makan siang. Betis mulai berdenyut-denyut, keringan meresap di kerudung, membuat kepala terasa pengap.

Lalu saya memutuskan untuk menyeberang dari jalur andong ke warung bertenda yang kelihatan cukup menjanjikan. Memarkir sepeda sebelum duduk-duduk dan memesan sepiring nasi goreng. Kehausan membuat saya kalap dengan dua gelas es teh. Saya cuek saja makan, selain lapar, juga karena sudah lama saya menantikan momen seperti ini. 

Alhamdulillah, segala kebutuhan lambung kini sudah terpenuhi. Sambil menikmati suasana Malioboro, saya sempat mengobrol ringan dengan mbak pemilik warung. Dia bertanya, darimana asal saya dan sudah kemana aja di Jogya. Ketawa saja ketika ia menimpali, "Wah, jauh ya Mbak dari Makassar..."

Saya bilang, asal ada duit, segalanya bisa jadi dekat. Apalagi jika kegiatannya dilakukan dengan hati gembira. Giliran mbaknya yang balik tersenyum ketika saya bilang baru saja kembali dari Tugu - Tamansari - naik sepeda, "Wah.. gila mbak.. itu jauhh e..."  

***

Pulang ke rumah di Jetis, saya tepar. Sebentar sore, pesawat tiba membelah cuaca mendung yang sedari ashar mulai menggelayuti langit.

I`ll be back, Jogya!



22 Februari 2012

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.