Wanita Itu

Umurnya saya tebak tidak begitu muda, tapi belum juga mencapai separuh baya tentunya. Mungkin sekitar tiga puluh tahun. Ia berkulit putih, dengan struktur wajah tirus, hidung kecil, dan cekungan mata agak dalam. Tipikal wanita yang biasanya saya temui diam di rumah dan modern. Mungkin merokok. Rambutnya hitam sebahu lebih sedikit. Bajunya ketat, model pasar. Saya menerka-nerka, berapa puluh pasang mata kaum adam yang sudah menikmati lekukan badannya itu.

Dan ia cerewet.

Pekerjaan mengharuskannya cerewet. Karena ia bekerja di sebuah toko emas pasar, toko emas kelas tiga. Mungkin dengan pelanggan mayoritas ibu-ibu yang kondisi keuangannya cenderung menengah kebawah. Ibu-ibu yang tidak mau kalah memamerkan perhiasan, walaupun mungkin setengah imitasi. Jujur saja, kebanyakan tampak agak norak dan murahan.

Penuh kata mungkin, karena ini kali pertamanya saya menemani seseorang mencari kalung. Berdasarkan daya lihat hemat saya, begitulah. Kebanyakan menerka-nerka karena saya tidak yakin. Seperti tentang wanita di depan saya itu, dibelakang etalase kaca yang didalamnya berderet semua bentuk dan jenis perhiasan. Tapi tidak ada yang menarik perhatian orang yang kurang minat terhadap perhiasan seperti saya.

Saya tidak memperhatikan begitu detail wajah wanita itu, yang saya bayangkan hanyalah kehidupannya. Bekerja untuk ibu-ibu tionghoa yang duduk manis dibelakang meja kasir, sesekali melirik pelanggan dengan senyum tanpa arti, sisanya mengawasi para pegawai yang semuanya perempuan.

Wanita itu tahu caranya memikat pembeli dengan segala bujuk dan promosinya. Ia bahkan belum menikah. Sebuah fakta yang menambah bahan imajinasi saya tentang sebuah kosan jelek berdinding tripleks di dekat pasar itu, yang disewa bersama-sama. Mungkin bersama pegawai satu toko, atau entahlah.

Siapa yang bercita-cita menjadi wanita ini? Bukankah banyak wanita seumurnya yang telah menikah dan sedang nongkrong di salon? Bukankah banyak wanita yang sedang menghabiskan waktu untuk berbelanja di butik ini dan itu? Bukan berbisik-bisik sekedar meyakinkan pembeli bahwa ia boleh menerima sedikit tip pembeli pulsa.

Ya, hidup memang tak adil, karena manusia bukanlah Tuhan.  

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.