Entah apa yang membuat saya mendadak teringat dengan benda fungsional yang satu ini saat melakukan "ritual" pagi memenuhi panggilan alam di toilet. Ah, eskalator.. Seumur hidup, saya baru pertama kali menggunakan eskalator dengan khusyuk ketika menginjak usia kurang lebih enam tahun. Maklum, sebelumnya berdomisili di sebuah kabupaten kecil di pulau Flores, NTT. Jadi lumayan katro bin ndeso.
Bagi saya pada waktu itu, eskalator adalah barang "dewa", canggihnya tidak terkira, dan mungkin hanya orang-orang kota yang berhak berdiri dengan gagahnya diatas eskalator.
Pada suatu hari, mama mengajak saya dan adik mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan rakyat. Ada embel-embel rakyatnya, jadi tidak usah membayangkan sebuah department store sekelas Mal Taman Anggrek - jauh. Makassar, yang dulunya Ujung Pandang, tidak semodern sekarang. Jadi tempat yang saya datangi, sangat populer dengan sebutan Pasar Sentral, adalah surga belanja bagi ibu-ibu : biasanya kalangan menengah kebawah yang sangat kritis terhadap perbedaan harga sandang dan pangan (baca : selera tinggi, ekonomi lemah).
Alkisah, di pasar sentral ini, berkumpulah semua jenis manusia. Mulai dari tukang parkir seragam oranye, pengemis kaki buntung, penjual ikan tokek (di jawa disebut ikan sapu), pedagang pakaian dalam gombal, tukang copet, dan yang paling penting adalah ibu-ibu yang datang bersama keluarga, maupun satu gerombolan anggota majelis ta`lim - entahlah. Satu kata yang bisa mewakili pasar sentral di hari libur : RAMAI.
Walaupun kondisi pasar lebih tepat disebut memprihatinkan. Bahkan diatas lantai keramik pun ada genangan air, atau bahasa kerennya - becek. Tidak ada ac, ditambah penerangan yang kurang memadai. Berbagai macam bau-bauan kerapkali bercampur menjadi satu. Bau keringat, bau badan, bau ikan, bau karung, bau kain, dan lain-lain. Belum lagi jika disinggung polusi suara. Mulai dari vokal sumbang, serak-serak basah, agak cempreng, hingga frekuensi tinggi ada disana. Bagi para pedagang, itulah saat yang paling tepat memamerkan dan menguji kemampuan jurus bersilat lidah. Bagi para pembeli, itulah saat yang paling tepat untuk memamerkan dan menguji kemampuan pertahanan mental untuk mengalahkan ego para pedagang.
kompleks, memang.
Jika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, bersiaplah karena kepala akan segera berdenyut-denyut pening. Matahari yang panas, pengunjung pasar yang membludak, padat, gerah, dan karena saat itu saya masih kecil, jadi lah tubuh kerempeng ini menjadi sasaran dempet pant*t2 tidak bertanggungjawab, khususnya pinggul maha lebar milik ibu-ibu itu.
Di saat yang bersamaan, maka tampaklah benda "dewa" itu. Menghubungkan hiruk pikuk kesibukan rakyat jelata di lantai dasar, dengan alam milik kaum bermobil di lantai tiga. Banyak orang yang hanya duduk melepas lelah di dekat eskalator itu karena sekonyong-konyong hawa dingin yang berasal dari dalam department store berhembus dan lumayan melegakan tensi darah yang sempat naik. Walaupun pengemis serta merta ikut berjamur disitu, sungguh merusak pemandangan.
Saya menatap mama dengan pandangan sangat mengibakan agar beliau mau berbaik hati mengajak kami naik ke lantai tiga - dengan tujuan pasti melalui eskalator itu. Tanpa disangka, akhirnya beliau mengiyakan dengan catatan kami tidak akan membeli apapun di atas sana. Saya yang sangat senang mengiyakan saja, yang penting bisa menggunakan eskalator saja rasanya sudah bahagia. Melihat orang berderet-deret menggunakan eskalator yang hanya berukuran lima puluh centimeter itu (lebih mirip jalan setapak) saya sungguh tidak sabar.
Ah! Pengalaman pertama menikmati naik eskalator!
Dan ketika kaki ini melangkah di tangga pertama, saya sudah tidak ingat bagaimana perasaan kala itu. Karena beberapa tahun sesudahnya saya bandingkan, department store lantai tiga itu bukanlah apa-apa. Saya lebih tertarik untuk mencoba masuk ke dalam lift dan merasakan bagaimana rasanya ruangan yang kita tempati naik turun dengan sangat cepat. Tapi mungkin pengalaman pertama naik lift sudah tidak terlalu istimewa.
Entah apa yang membuat saya mendadak teringat dengan eskalator pertama saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ran Jiecess
Twitter @Jiecess
About
a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.
0 comments:
Post a Comment