Rush Hour

There is no solution for rush hour in Indonesia. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain ikut masuk ke dalam arus kemacetan dimana-mana pada jam sibuk pagi hari dan jam pulang kerja. Entahlah, saya sangat pesimis menjalani keadaan seperti ini.
 
source : republikaonline
Hingga kapan?

Hari ini merupakan hari pertama saya mengajar di kampus baru yang berlokasi di Dayeuh Kolot, Terusan Buah Batu. Dan tebak saja, dari soekarno-hatta, saya harus tiga kali naik angkot kesana. Pulang pun akan begitu. Bangkrut bener.

Tapi saya ga punya alternatif lain, ada banyak pilihan, tapi tidak ada yang benar-benar masuk akal menurut saya. Selain fakta bahwa saya hanyalah seorang asisten dosen yang belum jelas pemasukannya, ada banyak alasan kenapa saya sungguh bingung menghadapi masalah ini.

- Naik angkot, nguras dompet, males nyeberang, lama jalannya, mana biasa si supir doyan ngetem nunggu penumpang. Belum lagi kalo jumlah penumpang dipaksakan melebihi kapasitas angkot itu sendiri. Kadangkala ketemu supir angkot yang nyupirnya kayak kerasukan. Belum duduk, gasnya udah ditancap sekencang mungkin. Sering aja ngelus dada.

Cuman keuntungannya ya, kita duduk manis, ga cape. Yang mo nghayal, ya nghayal. Yang mau denger musik, ya denger musik.

- Beli motor, entah dengan cash atau cicilan (favorit masyarakat Indonesia). Nah, tanpa kepastian sampai kapan saya akan berdomisili di Bandung, motor bukanlah pilihan terbaik yang bisa saya ambil. Dan selain itu, dengan motor tidak berarti kita bebas dari penderitaan di lalu lintas yang padat. Duduk mengendarai motor di tengah kemacetan hampir sejam membuat kepala saya pusing. Disini, ketahanan tubuh sungguh diuji. Asap ranmor, panas terik, apalagi jika hujan, lampu lalu lintas yang hampir dua-tiga menit lamanya, jika kewalahan sedetik saja, kita bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Belum lagi kepala yang dibekap helm membuat kening berdenyut-denyut.

Keuntungannya : hemaaaattt.

- Beli mobil pribadi, paling rentan terhadap macet karena yang macet justru di jalur cepat kendaraan. Buang-buang bensin, sementara yang duduk cuman sendiri di kursi pengemudi. Jadi kita ikut berpartisipasi menghasilkan emisi gas yang sebenarnya ga perlu. Selain itu, betis kita harus digenjot abis gara-gara kopling. Untung-untung mobilnya matic. Belum lagi harga mobil yang lumayan mahal, ga mampu belinya. Tapi semakin hari jumlah mobil terus bertambah, jumlah motor terus bertambah, walaupun lebar jalannya akan begitu-begitu saja. Jadi, beli kendaraan kayaknya kurang bijak (sok idealis). Mungkin ada yang berpikir, apa lah artinya satu motor baru. Faktanya tidak sesederhana dan seteratur itu. Jika sepuluh orang berpikir untuk memiliki motor, tambah lagi tuh menuhin jalan raya.

Keuntungannya : Nyaman, privat, dan ga kepanasan kalo ACnya dinyalain.

Jadi, untuk saat ini, saya tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh ingin punya helikopter.

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.