Beliau Affandi Koesoema, yang meninggal 1990 lalu. Seorang lelaki Jawa berkaos dan bersarung yang membahasakan jiwanya kedalam goresan-goresan cat yang dipadu dengan kemahiran tangan dalam meramu kanvas menjadi sebuah lukisan yang yang ekspresif namun abstrak.
Jejak peninggalan seorang Affandi seolah menghadirkan raganya, mengintai kami dengan cerutu khasnya, memastikan agar mata baik-baik mendalami setiap garis, setiap bentuk, setiap makna yang tinggal dalam kanvas-kanvas raksasa dengan warna dominan gelap. Tapi kami rasa, Affandi suka warna kuning.
Ada kaos dan celana pendeknya yang penuh dengan cat, ada sendal jepit karet, ada sepeda, tak lupa mobil kesayangannya yang diparkir di dalam museum. Semua barang-barang yang menandakan sang maestro yang rendah hati menjejakkan kaki di bumi ini. Walau tidak bisa bertemu langsung, kami hanya bisa memandang nisan beliau yang tertanam di halaman museum dengan takzim. Terkubur disana, disamping istri pertamanya yang meninggal setahun kemudian : Maryati.
Darah pelukis pun mengalir ke tubuh anak-anaknya. Bahkan Maryati pun tak luput jadi seniman, dengan kemampuan ala ibu-ibu jaman itu : merajut, ia berhasil membuat pengunjung kagum dengan untaian benang yang bersatu padu meraga bentuk. Saya melihat mereka besar dengan cara mereka sendiri. Walaupun teknik yang digunakan hampir sama, tapi gaya dan ciri khas lukisan keempat orang itu mencolok dengan keunikan masing-masing.

Maryati dengan garis dan benang warna-warninya.
Kartika pada 2006 dengan sapuan cat yang warna yang agak kalem, tranformasi dari lukisannya yang terbit tahun 2003.
Rukmini dengan warna-warna yang membara, emosional, namun tetap berpadu dengan indah.
Selain melukis, rupanya Affandi dan Kartika juga mahir membuat patung. Umumnya menggunakan tanah liat, saya hanya bisa memicingkan mata, bertanya-tanya dalam hati : bagaimana cara mereka membuat karya-karya sefantastis ini. Sayangnya di dalam galeri 1 hingga galeri 3 tidak diperkenankan mengambil gambar walaupun tanpa blitz sama sekali. Padahal saya ingin mengabadikan momen tersebut, momen pertama yang akan selalu teringat dalam hidup saya.
Keluar dari galeri, saya masih mendecak melihat sekeliling museum yang dulunya adalah kediaman keluarga pelukis ini. Bangunan yang sekilas berbentuk mirip keong, dengan taman berumput yang luas, disamping sungai Gajah Wong yang mengalir. Langit mendung membuat suasana sedikit abu-abu
Penampakan:
Penampakan:
Penampakan:
Penampakan:
Lukisan Didit, cucu Affandi seharga 75 juta:
Lukisan Didit, cucu Affandi seharga 75 juta:
Somehow, sekarang rasanya ingin bekerja, dan menabung, kemudian jalan-jalan lagi seperti ini. Kalau anak muda Indonesia mau belajar kearifan lokalnya, bukan mustahil Indonesia jadi ikon budaya dunia. Ah, kalau punya uang, mau beli lukisan itu satu.
0 comments:
Post a Comment