Chaos, nama DSLRku. EOS 1000D - yang kata banyak orang, adalah produk Canon yang gagal. Makanya dibandrol dengan harga murah. Pilihan pas bagi mahasiswa menengah kebawah yang kepengen jeprat-jepret. Pertimbangan saya pada saat itu (ditambah usulan yang logis dari seorang teman), saya bisa memilih membeli kamera dengan spesifikasi agak tinggi - namun tanpa lensa tambahan. Atau, membeli tipe ini, dengan spesifikasi standar dan masih ada sisa buat beli lensa - yang saya pilih adalah Tele 75-300mm.
Begitulah, Chaos dengan bangga saya tenteng kemana-mana. Bahkan malam pertama setelah saya resmi menjadi pemilik (dapat bonus kue kering dari toko), ia menemani saya tertidur setelah kelas fotografi di braga sore harinya. Yang saya pikirkan hanyalah : HORE! Saya punya DSLR!!!
jepretan pertama dengan Chaos |
"It`s not the gun - but the man behind the gun" itu.
Kata beliau, "Ran, jangan minder dengan kamera kamu. Ini bukan masalah merek atau mahalnya kamera, justru orang-orang kreatif berangkat dari keterbatasan. Lebih baik kamera kita standar, tapi dimaksimalkan fungsinya, ketimbang kamera puluhan juta tapi di tangan yang salah. Buktikan kalau kamu lah yang hebat, bukan kameranya."
Wah, kalau ingat kata-kata penyemangat seperti itu, saya merasa bersalah. Kenapa saya tidak bersyukur? Syukur-syukur punya, daripada ga punya sama sekali.. Maka dari itu, setiap saya habis motret, orang yang pertama kali pengen saya liatin adalah beliau. Karena pasti yang beliau katakan bikin saya on fire, "Wahh.. mantab nih.. keren nih... bla bla bla.."
Bahkan suatu ketika dalam sesi pemotretan, saya saking senangnya karena baru berkenalan dengan yang namanya softbox - bikin album foto di fb yang judulnya "MAKASIH PAK FATRAAA!!!", dan langsung beliau komentarin. Kadang-kadang kalau inget album itu jadi sedih sendiri.
Sejak pulang dari pemakaman, minat saya seakan mendadak hilang. Tidak ada lagi semangat yang meledak-ledak untuk motret. Pengetahuan saya tentang fotografi jalan di tempat. Kalaupun ada, cuma eksperimen-eksperimen kecil karena kasian liat si Chaos nganggur. Jadilah saya mencari hiburan di dA. Kalau ada yang muji - alhamdulillah, tapi seminggu setelahnya jadi males lagi. Seringkali saya pengen ngehapus akun kalau muak ngeliat hasil2 jepretan kemaren-kemaren. Ih, rasanya pengen ngulang dari nol. Tapi karena udah lumayan lama disono, sekarang udah tiga tahun berjalan, akhirnya niat itu dipendam aja. Bagaimanapun jeleknya, karya adalah karya. Malahan harus disimpan supaya keliatan progress kita tuh sampe dimana.
masih jahiliyah 2009 - baru kenal Chaos |
sudah kenal niksoftware - maret 2010 |
hanya masalah improvisasi - maret 2011 |
Itulah emosi yang gagal dikendalikan. Toh saya malah sering menyesal sendiri, tak tega. Chaos will be my first love fo-eva, nothing can change it. Begitu pun dengan si Telensa, bagaikan menyiksa anak sendiri, dalam kepala saya wajah mereka mengiba-iba dan bertanya kenapa saya bisa sejahat itu.
Kemudian saya googling, searching, finding, and thinking : Apakah Chaos memang produk gagal ataukah saya yang gagal? dan hasilnya sangat mengecewakan.
Ternyata saya yang gagal mengasuh Chaos! Saya tak pantas disebut fotografer!
Maka dari itu, saya bertekad kalo ada duit mending beli lensa ato equipments lain kayak filter ato softbox. akan memperjuangkan Chaos, bahkan akan dengan bangga berkata, "Ah, maaf ya.. Kamera gw 1000D kok, bukan 5D."
hahahha... keterlaluan dalam menghibur diri.
ya, kecuali dapat rejeki.. itu lain kasus. hehehe
2 comments:
"It`s not the gun - but the man behind the gun"
absolutely..
Post a Comment