
Sebenarnya, jauh dari apa yang sering berbicara dalam kepalaku, entah dari mana suara itu berasal, aku ingin menjadi seorang gadis yang “wajar”. Aku tidak mau selamanya menjadi diriku yang sekarang karena aku menemukan banyak hal-hal yang masuk akal tentang hakikat seorang wanita.
Aku bukan lagi si gadis kecil, tapi juga belum menjadi wanita. Tapi aku akan belajar.
Yang kubaca—“kelembutan tidak menunjukkan kelemahan. Tuhan tidak pernah melakukan diskriminasi. Wanita lembut tidak untuk diinjak, seperti halnya rerumputan yang dinaungi oleh sebuah pohon besar, mereka pun butuh dilindungi”. Aku jadi ragu dengan diriku sendiri. Sebab aku menganggap seorang wanita yang lemah lembut dan terlalu peka akan dianggap remeh oleh orang lain. Aku tidak ingin menangis atau bercerita tentang perasaanku di depan orang lain karena aku tidak ingin dianggap lemah. Lagipula aku tidak mau menambah beban orang lain. Aku selalu memendamnya sendiri, walaupun seringkali aku merasa bahwa usahaku sia-sia. Bagaimana caranya aku bercerita sekaligus mendengarkan diriku sendiri dalam saat yang bersamaan?
Aku sering menyalahkan diri. Dan terlalu sering menuntut diri untuk menjadi apa yang kuinginkan, walaupun kadang-kadang bertentangan dengan hati nuraniku. Tidak sedikit saat aku merasa jenuh dan lelah, berpikir sampai kapan aku harus begini?
Aku tahu harga diriku terlalu tinggi. Aku tidak mau dianggap gadis yang manja atau cengeng. Aku bukanlah diriku sepuluh tahun yang lalu. Semuanya telah berubah. Waktu berjalan dan aku telah membentuk karakterku sendiri.
Aku ingin menjadi gadis yang biasa-biasa saja. Tidak bertingkah seperti laki-laki. Selain tidak terlalu perduli dengan apa yang orang-orang pikirkan tentang diriku. Cukuplah Tuhan yang tahu apa yang kurencanakan. Tapi aku butuh waktu untuk menjalankannya perlahan-lahan. Aku juga seorang manusia. Tapi aku belajar dan harus berani mengambil resiko atas usahaku.
0 comments:
Post a Comment