Salahkah jika kita bisa memilih untuk lahir sebagai siapa?
aku melihat orang2 yang tinggal di tepi rel kereta api. Rumah mereka sangat jauh dibilang layak. Untuk anak2 yang bermain, mata kecil mereka mengikuti badan kereta yang setiap hari lalu lalang di area mereka bermain.
Dinding rumah mereka terbuat dari tripleks. Jangankan sepeda roda 3, udara yang mereka hirup saja berbau anyir karena tumpukan sampah bukan pemandangan luar biasa. Jika kereta sempat berhenti, para pedagang berlomba2 masuk ke koridor dan berdagang seadanya. Berbagai dialek dan pengucapan akan kita dengar. Apakah kita sempat berpikir : inikah mata pencaharian utama mereka?
Tidak juga lepas tangan2 mungil dan hitam menengadah dari balik jendela. Bukan salahnya 100%, karena mereka telah tumbuh dengan mental pengemis dan pemalas. Tidak di lampu merah, tidak di kereta, tidak dimana2. Semua sudut di negeri tak lepas dari pengemis. Kecuali rumah2 orang kaya dan tempat tidur mereka yang mewah.
Anak2 kecoa mulai merayapi bilik kereta. Ini juga. Tak pernah habis, sepertinya Indonesia juga milik bangsa mereka.
Hari telah malam. Pemandangan yang bisa kuliat dari jendela hanyalah warna hitam dan sedikit pantulan lampu serta siluet wajahku yang tak jelas bentuknya.
Aku sering membayangkan diriku berada dalam saat2 seperti ini. Sekarang aku mengalaminya. Sendirian dalam perjalanan menuju kota Pahlawan, surabaya. Menikmati makan malam sendirian. Petugas yang membawa makan malam mengundang ibaku. Bajunya sungguh tidak pas di badan. Kelonggaran. Wajahnya melarat walaupun ia banyak senyum. Kutebak, ia juga sering berpikir kenapa ia melakukan pekerjaan yang demikian. Jauh dari keluarga. Tidur di gerbong dapur kereta. Tidak ada rasa nyaman karena bising roda dan deru mesin adalah takdir yang harus diterima oleh pengguna jasa kereta api ini. Tapi ia tidak mau memilih. Sudahlah, ini kehidupannya.
Aku berandai2 suatu hari aku merasakan hal yang sama di luar negeri.
0 comments:
Post a Comment