Selimut Baru untuk Bunda

*Nih cerpen bisa bikin gw menang lomba sastra pas kelas 3 SMA. Hahaha... Gw aja gak tau kenapa. Tapi y udahlah.. Alhamdulillah :)



Selimut Baru untuk Bunda



      Fatya menarik selimut Bunda yang berwarna hijau kusam berbulu dan penuh tambalan disana-sini. Untuk kesekian kalinya Bunda mengigau. Fatya tahu, Bunda tidak bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini karena pusing memikirkan biaya hidup mereka yang semakin bertambah karena sebentar lagi Fatya akan lulus SMA dan Bunda mau agar Fatya tetap melanjutkan sekolahnya hingga bangku kuliah.
      Tapi uang kuliah itu tidak sedikit. Fatya bimbang, apakah impiannya meraih gelar sarjana akan tercapai. Walaupun Bunda sudah bersikeras akan memperjuangkan pendidikan Fatya hingga batas kemampuannya, namun Fatya tetap saja ragu.
***
      Bunda bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tiap pagi buta ia berangkat, dan malam merengkuh tengahnya ketika Bunda menyusuri jalan pulang rumah mereka yang terletak di ujung gang sempit belakang gedung kesenian kota.
      Fatya sendiri masih sibuk menyelesaikan ujian-ujiannya yang terakhir menyusul Ujian Nasional yang baru saja digelar. Ia dilarang Bunda ikut bekerja. Karena kata Bunda, tugas utama Fatya adalah belajar. Fatya merupakan tanggungjawab Bunda, jadi Bunda yang harus menanggung semuanya. Semua kebutuhan Fatya harus dibicarakan pada Bunda. Fatya tidak pernah membantah. Ia tidak mau berbohong pada Bunda. Ia berjanji, akan belajar dengan sangat giat untuk mendapatkan peringkat terbaik agar Bunda bahagia. Tidak lebih.
***
      Ada satu hal yang tidak pernah dilewatkan Fatya jika ia pulang melewati sebuah toko pakaian sederhana di sisi jalan sebelum masuk gang yang biasa ia lalui. Ia ingin sekali membelikan Bunda selimut yang dipajang di etalase toko. Kainnya berwarna biru muda tebal, warna favorit Bunda dan kelihatannya sangat nyaman jika kita meringkuk dibawahnya. Setiap tepinya dihiasi renda-renda berwarna biru tua. Sangat indah. Lagipula, selimut Bunda sudah dalam keadaan yang benar-benar menyedihkan. Ujungnya koyak dan tidak sehangat ketika selimut itu pertama kali dibeli lima belas tahun yang lalu. Terlebih saat Fatya membayangkan Bunda yang selalu kedinginan setiap malam menjelang tidur. Dalam keadaan lelah dan ngantuk, ia masih saja menolak jika Fatya berniat memijitnya. Jadi, yang dikerjakan Fatya hanyalah menunggui hingga Bunda tertidur dan mengecup kening Bunda yang penuh dengan peluh.
      “Aku akan membawa selimut itu pulang suatu saat nanti.” pikir Fatya.
***
      “Bunda,… kalau Fatya ngasih Bunda hadiah, Bunda mau apa?” suatu malam Fatya bertanya pada Bunda sebelum ia tertidur. Tangannya memeluk pinggang Bunda yang rapuh. Didekapnya tubuh tua itu dari belakang sambil pandangannya menerawang di langit-langit kamar.
      “Hm,.. apa ya?” kening Bunda berkerut.
      “Kayaknya susah.”
      Fatya penasaran. Ia mengernyit.
      “Apa sih Bunda???”
      “Masalahnya, Bunda pengen Fatya bahagia. Emang Fatya bisa ngasih Bunda itu?”
      Fatya kembali tertegun. Ia bingung. Berpikir lama.
      “Satu-satunya keinginan Bunda adalah melihat Fatya bahagia. Maafin Bunda kalo Bunda gak pernah bikin Fatya seneng. Karena kebahagiaan itu sendiri, harus Fatya yang mencarinya. Bunda hanya bisa seperti ini, Ty..” Bunda menyambut pelukan anak gadis semata wayangnya itu. Sinar lampu lima watt membuat matanya meredup.
      “Bunda gak pantes ngomong gitu. Fatya udah bahagiaaaaaa banget punya orang tua seperti Bunda. Bunda gak nuntut Fatya mesti jadi yang Bunda mau. Kebahagiaan Bunda, kebahagiaan Fatya juga. Jadi kalo Bunda pengen liat Fatya bahagia, Bunda yang mesti bahagia dulu.”
      Kini giliran Bunda yang diam. Setiap ia menarik nafas, udara dingin mengisi rongga paru-parunya. Ia bergidik. Merasakan hal itu, Fatya sangat sedih. Ia ingin membeli selimut yang dipajang itu segera. Lalu menyelimuti Bunda agar tidur dengan lelap. Ia tidak tahan melihat Bunda kedinginan.
      Fatya berbisik pada Bunda yang sudah terlelap.
      “Fatya sayang Bunda.”
***
        Setiap hari, Fatya gencar mengumpulkan uang untuk membeli selimut baru untuk Bunda. Mulai dari membersihkan kaca gedung kesenian hingga ia diupah dua ribu lima ratus rupiah setiap hari, hingga mencuci piring di warung Cak Eko, pemilik rumah makan masakan Padang di depan sekolah sore harinya.
      Bunda tidak perlu tahu itu.
      Bunda hanya perlu tahu kalau Fatya sangat menyayanginya. Bagaimana pun, Fatya sudah menginjak dewasa. Umurnya sudah tujuh belas tahun. Ia harus membantu Bunda mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang beberapa kawan sering mengajak Fatya menemani mereka berbelanja atau sekedar jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Tapi Fatya menolak dengan rendah hati. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal yang kurang berguna untuk ia lakukan. Walau dalam hati Fatya sedih, ia juga ingin seperti remaja lainnya. Mendengar cerita mereka sepulang dari bioskop kemarin, atau sehabis menghadiri pesta salah satunya membuat Fatya teriris. Tapi mengingat Bunda, membuat Fatya lebih pedih lagi. Bunda adalah segalanya baginya. Kebahagian Bunda adalah kebahagiaannya juga.
      “Ty, nggak ikut nih? Beneran?”
      “Iya. Makasih ya udah ngajak.” Fatya menggeleng lemah.
      “Ty, kamu kok gak pernah mau ya diajakin kita-kita ke mall.”
      “Lagi gak ada duit ya?”
      Fatya menggeleng. Tapi dalam hatinya mengangguk. Tiap hari aku juga gak pernah punya uang, bathinnya.
      “Nggak. Aku mau pulang cepet.”
      Teman-teman Fatya mulai merengek.
      “Yuk, yuk Fatya, yuk!!! Sekaliiii aja. Suer!”
      Fatya berpikir. Ia sedikit tergoda.
      “Nggak lah. Kalian aja.”
      “Nanti kita bayarin angkotnya! Kamu pinter sih dalam selera pakaian. Temanin aku nyari. Aku pengen beliin sesuatu buat mamaku.”
      Mama, Bunda, tiba-tiba Fatya ingat Bunda. Bunda sedang ngapain sekarang ya???
      “Ty! Nyimak gak?” tegur temannya membuyarkan lamunan.                  
      “Maafin aku. Aku pengen, tapi gak bisa. Lain kali, ya?”
***
      Tak terasa sebulan telah berlalu. Tabungan Fatya sudah lumayan banyak. Ia berniat langsung membeli selimut untuk Bunda langsung seusai pulang sekolah. Siang itu, tatkala bel sekolah sudah berdentang menandakan jam pelajaran hari ini telah usai, Fatya bergegas meninggalkan kelas. Tapi belum sampai langkahnya di gerbang, teman-teman Fatya tiba-tiba mencegat.
      “Nah loh! Mo kemana, Ty?”
      Fatya tersenyum.
      “Aku mau beli selimut buat Bundaku.”
      “Emangnya ada acara apa beli selimut segala?” Tanya teman-temannya lagi.
      “:Ng,..”
      “Kamu mau nggak ikut nonton ma kita? Ada film bagus loh! Pasti kamu suka!” belum sempat Fatya menjawab, pertanyaan lain bermunculan.
      Fatya memandang teman-temannya.
      “Film?”
      “Iya,.. kan jarang Ty, kita bisa nonton bareng. Hari ini kamu punya waktu kan? Kamu pasti nggak mau ngecewain kita-kita. Kamu udah janji loh tempo hari.”
      “Maaf,.. Aku,..”
      “Udahlah.. ikut ya?! Hariii iniiiii aja.”
      Fatya menimbang-nimbang. Kalau dihitung, uangnya tidak akan berkurang banyak jika beberapa ribu dipakai untuk membeli karcis bioskop. Besok, ia masih bisa pergi ke toko itu. Uangnya pasti masih cukup. Lagipula, ia kan tidak pernah menonton film bersama teman-temannya. Fatya kembali tergoda.
      “Tapi janji ya, hari ini aja.”
      Teman-temannya bersorak.
      “Tapi kalo ketagihan, kita nggak tanggungjawab loh, Ty…”
***
      Ternyata perkiraan Fatya meleset. Selesai menonton film, ia diajak jalan-jalan. Mengunjungi toko ini dan itu. Banyak sekali barang yang indah di mata Fatya. Tak terasa, ia mulai merogoh kocek agak sering karena ia tak tahan melihat baju-baju bagus dan tas-tas keren yang diobral hampir di seluruh toko yang mereka kunjungi. Ia melupakan bahwa besok, ia harus membelikan Bunda selimut baru. Alasan utama kenapa ia bersusah-susah mengumpulkan uang.
      Menjelang maghrib, ia pulang. Bunda belum ada. Fatya agak takut. Kalau Bunda sampai melihat ini, pasti Bunda bertanya-tanya. Darimana ia bisa membeli barang-barang sebanyak ini.
      Fatya masuk ke kamar mengendap-endap walaupun tidak seorang pun yang mengawasinya. Ia mulai menghitung total pengeluarannya sore itu. Setelah mengkakulasikan struk belanja, Fatya terkejut. Uangnya tinggal dua puluh lima ribu.
      “Wah, mati aku! Kenapa bisa begini? Bagaimana dengan selimut itu? Kenapa aku bisa bego begini, ya?! Ini gara-gara mereka!”
      Fatya bergejolak dalam hati. Tapi serasa ada yang ikut berbisik di telinganya..
      “Tapi, kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Kapan aku bisa kayak gini? Aku kan udah kerja keras? Mestinya dari dulu aku nikmatin. Dan teman-temanku, mereka peduli ma aku. Buktinya, mereka bersikukuh ngajak aku padahal mereka tahu aku nggak sekaya mereka. Mereka pengen berbagi kesenangan aja. Kalo uang, masih bisa dicari. Toh, masih ada hari esok. Aku masih bisa kerja lagi.” 
      Sambil berpikir-pikir, Fatya menyembunyikan semua kantong belanjaannya kemudian tertidur karena kelelahan.
***
      Fatya sudah berubah. Ia tidak lagi menepati janji. Kini, setiap dua bulan sekali, ia kembali menghabiskan waktu sehari penuh membelanjakan tabungan dari hasil kerjanya selama sebulan lebih. Ia selalu menunda-nunda untuk membeli selimut untuk Bunda. Ia selalu berpikir masih ada hari esok, esok, dan seterusnya. Sampai beberapa bulan kemudian.
      Hingga suatu hari, Bunda jatuh sakit. Suhu badannya tinggi tapi Bunda menggigil kedinginan sampai-sampai giginya bergemeletuk. Fatya panik. Kata Emak tetangga, Bunda masuk angin karena Bunda selalu pulang larut malam kemudian tidur diatas ranjang mereka yang alasnya terbuat dari papan kayu dengan alas yang tipis. Tapi Fatya tidak sepenuhnya percaya kalau Bunda hanya masuk angin. Sepertinya, penyakit Bunda agak serius dari biasanya.
      Fatya gelagapan. Ia teringat janjinya pada Bunda. Bukankah kalau selimut itu dari dulu sudah dibeli, Bunda tidak akan seperti ini? Sayangnya hasil tabungan bulan ini belum cukup. Fatya masih harus mengumpulkan uang beberapa hari lagi. Ini akibat dari kebiasaannya menunda-nunda rencana tersebut.
***
       Akhirnya, seminggu kemudian, fatya berhasil mengumpulkan tabungannya. Hasilnya cukup untuk membeli selimut baru untuk Bunda yang kini terbaring lemah di rumah. Ia tidak mau lagi mendengar ajakan teman-temannya seperti dulu. Ia bertekad, harus membeli selimut itu hari ini! Titik!
      Pukul tiga sore, Fatya masuk ke toko hendak membeli selimut yang dilihatnya beberapa bulan yang lalu. Tapi alangkah kecewanya ia ketika mengetahui bahwa selimut itu baru saja terjual kemarin siang. Ia terlambat sehari.
      Dengan langkah gontai, ia menyusuri emperan toko-toko yang lain mencari selimut yang corak dan warna yang sama. Tapi hingga matahari terbenam, Fatya belum menemukannya.
      Ia lemas. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Fatya duduk diatas trotoar menunggu kalau-kalau ia punya ide yang lebih cemerlang. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Karena ini adalah janjinya. Janji yang harus ditepati.
      Fatya bangkit dari lamunannya. Ia harus menemukan selimut itu hari ini juga!
***
      Lorong sempit ini terasa begitu panjang dan sepi, mungkin karena sudah pukul sembilan lewat.  pikir Fatya. Udara pun terasa lebih hambar. Kantongan yang kubawa ini juga terasa sangat berat. Tidak papa! Ini demi Bunda!
      Mataku berat sekali. Hampir seluruh pelosok kota aku datangi untuk mendapatkan selimut ini. Mudah-mudahan Bunda senang. Tidak! Bunda harus senang karena aku memperolehnya dengan hasil keringatku sendiri. Aku tidak merasa capek lagi kalau membayangkan Bunda bahagia menerimanya. Jadi, Bunda tidak akan kedinginan lagi. Besok, akan kupaksa Bunda istirahat bekerja besok. Apalagi, besok kan hari Minggu,.. aku akan merawat Bunda seharian penuh..
      Fatya tersenyum. Namun spontan ia tidak bisa bergerak. Fatya gemetar. Ia memicingkan mata lurus ke depan. Ada bendera putih berkibar di ujung lorong. Dan tepat di depan rumahnya.
      Bagi Fatya, dunia telah runtuh.
***
      “BUNDAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!” Fatya menyeruak di antara para pelayat yang sedang melantunkan doa. Mereka kaget melihat Fatya berlari dari kejauhan lalu menerobos seperti orang gila.. 
      Fatya terhenyak didepan pintu. Kepalanya pusing.
      “BUNDA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” ia kembali berteriak kesetanan dan menjerit-jerit setelah memeluk tubuh yang telah kaku dihadapannya.
      “Fatya! Nak Fatya!” bujuk Emak dan beberapa ibu-ibu yang kebetulan duduk didekat jenazah Bunda. Bunda nggak boleh pergi!!!
      “BUNDA!!!!! Kenapa Bunda ninggalin Tya?!!! BUNDA NGGAK BOLEH MATI!!!”
      “Nak Tya, tolong tenang sedikit! Istighfar, Nak!!!”
      “TYA GAK MAU!!!!!! TYA MAU BUNDA KEMBALI!!!!!!!!!!!” 
***
      Hari Minggu. Bunda memang tidak pergi bekerja, tapi pergi untuk selama-lamanya. Ia tidak sempat mendengar pengakuan, keluhan, cerita hebat maupun ucapan selamat tinggal dari putri satu-satunya itu. Ia sudah meninggalkan banyak kenangan dan perasaan bersalah bagi Fatya. Gadis itu sedang melamun di kamar sekarang.
      Penyesalan yang takkan ia lupakan seumur hidupnya.
      Bunda memang tertidur dibawah dekapan selimut “baru”nya. Tidur dengan nyaman dan tak akan terbangun lagi. Atau bahkan -hanya untuk mendengar putrinya berkata,
      Aku menyayangimu, Bunda.

Selesai

0 comments:

Ran Jiecess

Twitter @Jiecess

About

a freelancer who think she isn't cool enough to be everything yet.